Tgk H Ibrahim Bardan yang lebih
dikenal dengan sebutan Abu Panton, seorang ulama kharismatik di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengaku dirinya jahil (berarti bodoh dalam
bahasa Arab) akibat konflik di daerah tersebut. “Saya jahil bukan karena malas
tapi karena konflik yang membuat miskin sehingga tidak bisa mengenyam pendidikan fomal,” kata Ketua Umum Himpunan Ulama Dayah (Pesantren) salafiah
(Huda) NAD itu di Banda Aceh, Jumat [21 Nov 2008)
Mengaku jahil, ia sebenarnya
merasa malu mengeluarkan buku berjudul Resolusi Konflik Dalam Islam yang
diluncurkan pada tahun 2008, karena Abu menilai ilmunya belum seberapa
dibandingkan peserta yang hadir dalam bedah dan peluncuran buku itu. “Saya
belum ada apa-apanya dibandingkan kawan-kawan semua,” katanya merendah. Ulama
kelahiran Matang Jeulikat Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara pada 1945 itu mengaku
kejahilannya berawal dari dibakarnya Sekolah Rakyat (SR) setempat, tempat di
mana ia mengeynam pendidikan pertama pada 1953, oleh pihak yang berkonflik saat itu.
Akibatnya tidak ada lagi pendidikan di kecamatan Seunuddon, namun anak-anak usia sekolah di daerah itu
beruntung dapat belajar mengaji dari janda-janda tua dan imam meunasah
(mushalla) setempat.
“Saat itu saya tidak memiliki
cita-cita karena kalau menjadi guru akan dibunuh sementara menjadi ulama juga
dikejar-kejar,” katanya.
Ia mengaku hidup dalam keadaan trauma akibat konflik bersenjata,
setiap kali diantar untuk belajar mengaji ke dayah-dayah (pesantren) di Aceh
selalu merasakan konflik.
“Sekarang saya juga belum merasa damai meskipun kesepakatan (MoU)
damai sudah ditandatangani. Hati saya masih berdebar-debar, khawatir kapan akan
terjadi lagi konflik karena damai hanya antara pemerintah dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) bukan dengan rakyat Aceh,” tambahnya.
Meskipun konflik bersenjata telah berakhir tapi konflik politik
maupun konflik lainnya kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat Aceh.
“Contohnya seperti sekarang banyak terjadi perceraian, itu karena konflik dalam
rumah tangga,” ujarnya.
Ia sempat berkeinginan menuntut ilmu di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ar Raniry pada 1963, meskipun tidak pernah merasakan pendidikan formal, namun keinginan itu hanya tinggal impian.
Meskipun tidak mengeyam pendidikan formal, Abu Panton menjadi sosok berpengaruh yang berkiprah luas
dengan kegiatan padat mulai dari memberi ceramah keagamaan dan diskusi ilmiah
bahkan diundang menjadi peserta dan pembicara seminar baik di tingkat nasional
maupun internasional.
Budaya “sayam” yang merupakan pemberian kompensasi harta oleh
pelaku kepada korbannya yang berasal dari ajaran Islam sebagai institusi
penyelesaian konflik menurut adat di Aceh masih berperan dalam rekonsiliasi
konflik di daerah tersebut.
Menurut Nazar , agama berperan sangat besar dalam menyelesaikan
berbagai masalah termasuk konflik, dsehingga peran ulama diperlukan untuk
mengajak masyarakat mengikuti ajaran agama.
Nasehat-nasehat agama yang disampaikan langsung dihadapan pihak
bertikai oleh fasilitator yang biasanya dari kalangan agama atau tokoh
masyarakat sangat berperan dalam prosesi “sayam”.
Dia menguemukakan dalam konteks
konflik, “meudamee”juga sangat besar peluangnya untuk diterapkan asal kebutuhan
dan tuntutan prinsipil dapat dipenuhi dan diselesaikan secara politik. “Sebenarnya
inti resolusi konflik dalam Islam adalah semuanya menang tidak ada yang kalah
sama seperti MoU Helsinki ada kompensasi seperti partai politik lokal dan dana
otonomi khusus,” kata M Nazar, Wagub Aceh 2008.
0 komentar:
Posting Komentar