1. Pendahuluan
Ø Keinginan bangsa Indonesia khususnya umat Islam
Indonesia untuk memiliki undang-undang perkawinan sungguh telah lama bahkan sudah
muncul sejak masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang dan terus
berlanjut sampai pada masa kemerdekaan.
Ø Undang-undang perkawinan tersebut baru terwujud pada
awal tahun 1974, UU No. 1/1974 tentang Perkawinan; berlaku 1 Oktober 1975
berdasarkan PP No. 9/1975.
Ø UU No. 1/1974, merupakan era baru bagi kepentingan
umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Ø UU ini merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum
perkawinan, yang bersifat nasional, yang menempatkan hukum Islam memiliki
eksistensinya sendiri, tanpa harus diresipiir oleh Hukum Adat.
Ø Meskipun UU No. 1/1974 memasuki usia 32 tahun harus
diakui terdapat hal-hal yang memerlukan perhatian di masa yang akan datang,
seperti: nikah di bawah tangan, nikah sirri, poligami liar, pelanggar tindak
pidana perkawinan perlu dipertegas, perkawinan liar atau petugas pencatat liar.
Ø
Petugas KUA dan catatan sipil mempunyai peran yang penting untuk
menjamin efektifitas pelaksanaan UU No. 1/1974.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Undang-undang Perkawinan terdiri dari 14 Bab yang terbagi
dalam 67 pasal. Bab-bab itu adalah sebagai berikut :
I. Dasar Perkawinan.
II. Syarat-syarat Perkawinan.
III. Pencegahan Perkawinan.
IV. Batalnya Perkawinan.
V. Perjanjian
Perkawinan.
VI. Hak dan Kewajiban Suami Istri.
VII. Harta Benda dalam Perkawinan.
VIII. Putusnya Perkawinan serta akibatnya.
IX. Kedudukan Anak.
X. Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua.
XI. Perwalian.
XII. Ketentuan-ketentuan
lain.
XIII. Ketentuan Peralihan.
XIV. Ketentuan Penutup.
3. Prinsip-prinsip UU No. 1 Tahun 1974
Dalam Undang-undang Perkawinan ini terdapat beberapa prinsip demi menjamin
cita-cita luhur dari perkawinan. Dari undang-undang ini diharapkan agar supaya
pelaksanaan perkawinan dapat lebih sempurna dari masa yang sudah-sudah. Oleh
karena itu bukannya tidak mungkin berbagai pembaharuan atau perubahan dalam
pelaksanaan hukum.
Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah antara lain:
1. Azas Sukarela
Undang-undang
menentukan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai (Pasal 6 ayat (1). Oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar supaya suami istri dapat membentuk keluarga
yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka suatu
perkawinan harus mendapat persetujuan
dari kedua calon suami istri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Pasal tersebut
menjamin tiadanya kawin paksa. Dengan batas umur 21 tahun, baik bagi pria
maupun bagi wanita, dan dalam kondisi masyarakat kita yang semakin terbuka ini,
maka kawin paksa benar-benar akan dapat dicegah.
2. Partisipasi Keluarga
Orang yang belum mencapai
umur perkawinan (belum 21 tahun) (Pasal 7 ayat (1) itu dipandang belum dewasa.
Ia dianggap belum mampu bertindak hukum dan belum dapat menentukan nasibnya
sendiri.
Oleh karena itu bagi
yang masih berada di bawah umur 21 tahun (pria dan wanita) diperlukan izin dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Izin
tersebut dapat diperoleh dari Pengadilan, apabila karena satu dan lain sebab
izin termaksud tidak dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga tersebut (pasal 6 ayat (4 dan 5).
3. Perceraian dipersulit
Perceraian adalah
suatu yang amat tidak disenangi oleh siapapun, dan apapun alasannya adalah
merupakan musibah dalam rumah tangga. Ia adalah bagaikan pintu darurat di pesawat
udara yang tidak perlu digunakan kecuali dalam keadaan darurat demi untuk
mengatasi suatu krisis.
Penggunaan cerai
tanpa kendali akan merugikan bukan saja kedua belah pihak tetapi terutama
anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Banyaknya broken home telah membawa
akibat langsung timbulnya dan tambahnya problem anak-anak nakal.
Hingga kini angka
perceraian masih tinggi; Hal ini disebabkan karena penggunaan hak cerai secara
sewenang-wenang, dengan dalil hak suami untuk mentalak. Oleh karena itu kepincangan
masyarakat ini harus diperbaiki. Untuk itu undang-undang perkawinan menentukan
bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta
harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
Itupun setelah
Pengadilan berusaha tapi tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal
39).
4. Poligami dibatasi secara ketat
Asas perkawinan
menurut undang-undang perkawinan adalah monogami. Hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian,
perkawinan dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
syarat tertentu dan diputus oleh pengadilan.
Seperti juga
percerain maka poligami adalah merupakan momok yang ditakuti oleh kaum wanita.
Pelaksanaan poligami tanpa pengaturan yang ketat telah menimbulkan
akibat-akibat yang serius dalam rumah tangga. Hubungan antara istri/madu
menjadi tegang, sementara hubungan antara anak-anak yang berlainan ibu menjurus
kepada pertentangan, apalagi bila si Bapak telah meninggal dunia. Undang-undang
mengatur bagaimana caranya untuk melakukan poligami. Untuk itu harus
ditempuh/dipenuhi tahap-tahap di bawah ini secara berturut-turut (pasal 4 dan 5
UUP), yakni:
1. Istri
tidak dapat menjalankan tugas sebagai istri;
2. Istri
mendapat cacat badan atau berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Adanya
persetujuan dari istri;
4. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anaknya;
5.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya;
5. Izin dari Pengadilan
Tentang kemandulan, tentu saja Pengadilan akan meneliti secara objektif,
karena melalui pemeriksaan medis akan dapat diketahui siapa sebenarnya yang
tidak dapat memberi keturunan, apakah istri ataukah justru suami itu sendiri.
Mengingat cara-cara pengaturan yang ketat itu, maka diharapkan angka poligami
akan dapat ditekan serendah mungkin beserta segala akibat buruknya.
6. Kematangan calon mempelai
Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah
matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan anak-anak di bawah umur.
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan.
Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu Undang-undang ini
menentukan batas umur untuk kawin, yaitu
21 Tahun.
Namun demikian dalam
keadaan yang sangat memaksa (darurat), perkawinan di bawah umur tersebut
dimungkinkan, tetapi setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas
permintaan orang tua (pasal 7 ayat 1 dan 2).
Demikianlah beberapa
hal tentang Undang-undang Perkawinan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan
ini, semoga dapat bermanfaat dan menjadi bahan acuan di dalam pelaksanaan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terima kasih atas segala perhatian, dan
mohon maaf atas segala kekurangan.
0 komentar:
Posting Komentar