SELAIN mi caluek, Kabupaten Pidie juga memiliki
sejumlah makanan yang kas dan rasanya beda dengan daerah laen. Makanan itu
antara lain kanji, rujak, mie kocok, bandeng presto (eungkot muloh teupeh), dan
kue adee.
Untuk penggemar kanji, makanan yang dibuat dari
beras putih plus racikan bumbu rempahan khas dapat dinikmati di warung kanji
Caleue yang berada di pinggir jalan Banda Aceh-Medan, tepatnya di Gampong
Seupeng, Kecamatan Peukan Baro, Pidie yang jaraknya sekitar enam kilometer dari
Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie. Bagi mereka yang singgah di Pidie, rasanya
belum lengkap jika belum mencicipi kanji Caleue buatan Rudi (35) warga Gampong
Sawi, Kecamatan Peukan Baro, itu.
“Sebanyak 44 macam rempah-rempah kami gunakan
untuk bumbu membuat kanji ini,” kata Rudi kepada Serambi, Rabu (5/2)
disela-sela kesibukannya melayani pembeli yang datang silih berganti. Usaha
itu, menurutnya, telah dirintis 13 tahun lalu. Awalnya, usaha itu didirikan
orang tuanya. Karena kini, orang tuanya tidak mampu lagi mengelola usaha tersebut,
akhirnya Rudi mengambil alih dengan dibantu tiga pekerja.
Setiap hari, menurut Rudi, kanji sampu terjual
lima bambu beras. Satu porsi kanji dijual Rp 5.000. “Kami mulai membuka warung
sejak pukul 08.30 WIB dan tutup pukul 14.00 WIB. Jumat kami tak jualan,” kata
Rudi. Sebenarnya, kata dia, permintaan kanji tiap hari selalu tinggi. Tapi,
lanjut, Rudi dirinya tetap memasak kanji ukuran lima bambu beras. “Kami
bekerja santai selama tujuh jam menjual kanji. Terkadang pukul 11.30 WIB, kanji
sudah habis. Karena banyak pegawai yang datang makan kanji,” kata Rudi.
Di samping warga Pidie, lanjutnya, pengunjung dari
luar daerah seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan Medan juga sering
singgah di warung miliknya itu. Mereka transit sekejab untuk menikmati kanji.
Bahkan, menurut Rudi, pejabat Provinsi Aceh juga sering datang untuk mencicipi
kanji yang dijualnya. “Pengunjung dari luar daerah, biasanya ramai datang pada
hari Minggu. Bahkan, terkadang mereka membawa baskom untuk membeli kanji guna
dibawa pulang ke rumah,” ungkap Rudi.
Dikatakan, hingga kini kanji yang dijualnya juga
sering diorder masyarakat untuk pesta dan pertemuan di kantor pemerintahan.
“Kita tidak melayani pesanan. Karena kita bekerja santai, jadi jika melayani
order tambah repot menyiapkan kanji dalam jumlah besar,” kata Rudi.
Kecuali kanji, ada satu lagi makanan di Pidie yang
memiliki rasa yang khas. Makanan itu adalah rujak Busu. Rujak ini mungkin belum
begitu dikenal orang luar daerah karena letaknya agak jauh dari jalan Banda Aceh-Medan
yaitu, di kawasan Simpang Empat Gampong Busu, Kecamatan Mutiara Barat. Pemilik
usaha rujak itu bernama Mustafa. “Satu piring rujak kami jual 3.000 rupiah.
Setiap hari, Alhadulillah omset saya 2,5 juta hingga tiga juta rupiah,” kata M
Nasir (23), satu orang dari tujuh pekerja pada pondok rujak tersebut.
Setiap hari, warung rujak beratap rumbia itu
selalu melayani ratusan pengunjung. Sejak sepuluh tahun terakhir ini, rujak
khas Busu itu telah termashur ke berbagai kecamatan di Pidie dan Pidie Jaya. Cita
rasa rujak Busu masih khas yaitu pedas dan manis, sehingga tiap hari ada saja
orang yang datang untuk menikmati rujak tersebut.
Kendati pondok rujak yang lokasinya sempit, Namun,
pelanggan yang datang secara bergilir juga dapat makan rujak sambil menikmati
panorama alam berupa hamparan areal sawah yang luas membentang.
“Buah-buahan segar untuk bahan rujak, khusus kami pesan dari Brastagi, Sumatera
Utara,” kata M Nasir. Jika Anda ingin membuktikan kenikmati rujak Busu, silakan
datang di Simpang Empat Gampong Busu, Kecamatan Mutiara Barat, Pidie.(muhammad nazar)
Selasa, 30 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar