Senin, 22 April 2013

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA


Oleh : Drs. H. Moh. Muchtar Ilyas


1.    Pendahuluan

Ø  Keinginan bangsa Indonesia khususnya umat Islam Indonesia untuk memiliki undang-undang perkawinan sungguh telah lama bahkan sudah muncul sejak masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang dan terus berlanjut sampai pada masa kemerdekaan.
Ø  Undang-undang perkawinan tersebut baru terwujud pada awal tahun 1974, UU No. 1/1974 tentang Perkawinan; berlaku 1 Oktober 1975 berdasarkan PP No. 9/1975.
Ø  UU No. 1/1974, merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Ø  UU ini merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan, yang bersifat nasional, yang menempatkan hukum Islam memiliki eksistensinya sendiri, tanpa harus diresipiir oleh Hukum Adat.
Ø  Meskipun UU No. 1/1974 memasuki usia 32 tahun harus diakui terdapat hal-hal yang memerlukan perhatian di masa yang akan datang, seperti: nikah di bawah tangan, nikah sirri, poligami liar, pelanggar tindak pidana perkawinan perlu dipertegas, perkawinan liar atau petugas pencatat liar.
Ø  Petugas KUA dan catatan sipil mempunyai peran yang penting untuk menjamin efektifitas pelaksanaan UU No. 1/1974.


2.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Undang-undang Perkawinan terdiri dari 14 Bab yang terbagi dalam 67 pasal. Bab-bab itu adalah sebagai berikut :

I.     Dasar Perkawinan.
II.     Syarat-syarat Perkawinan.
III.    Pencegahan Perkawinan.
IV.    Batalnya Perkawinan.
V.        Perjanjian Perkawinan.
VI.    Hak dan Kewajiban Suami Istri.
VII.   Harta Benda dalam Perkawinan.
VIII. Putusnya Perkawinan serta akibatnya.
IX.    Kedudukan Anak.
X.        Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua.
XI.    Perwalian.
XII.   Ketentuan-ketentuan lain.
XIII.  Ketentuan Peralihan.
XIV.   Ketentuan Penutup.

3.  Prinsip-prinsip UU No. 1 Tahun 1974

Dalam Undang-undang Perkawinan ini terdapat beberapa prinsip demi menjamin cita-cita luhur dari perkawinan. Dari undang-undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan dapat lebih sempurna dari masa yang sudah-sudah. Oleh karena itu bukannya tidak mungkin berbagai pembaharuan atau perubahan dalam pelaksanaan hukum.
Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah antara lain:
1.   Azas Sukarela
Undang-undang menentukan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai  (Pasal 6 ayat (1). Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar supaya suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka suatu perkawinan harus  mendapat persetujuan dari kedua calon suami istri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Pasal tersebut menjamin tiadanya kawin paksa. Dengan batas umur 21 tahun, baik bagi pria maupun bagi wanita, dan dalam kondisi masyarakat kita yang semakin terbuka ini, maka kawin paksa benar-benar akan dapat dicegah.
2.   Partisipasi Keluarga
Orang yang belum mencapai umur perkawinan (belum 21 tahun) (Pasal 7 ayat (1) itu dipandang belum dewasa. Ia dianggap belum mampu bertindak hukum dan belum dapat menentukan nasibnya sendiri.
Oleh karena itu bagi yang masih berada di bawah umur 21 tahun (pria dan wanita) diperlukan izin dari wali, orang yang memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Izin tersebut dapat diperoleh dari Pengadilan, apabila karena satu dan lain sebab izin termaksud tidak dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga tersebut (pasal 6 ayat (4 dan 5).
3.   Perceraian dipersulit
Perceraian adalah suatu yang amat tidak disenangi oleh siapapun, dan apapun alasannya adalah merupakan musibah dalam rumah tangga. Ia adalah bagaikan pintu darurat di pesawat udara yang tidak perlu digunakan kecuali dalam keadaan darurat demi untuk mengatasi suatu krisis.
Penggunaan cerai tanpa kendali akan merugikan bukan saja kedua belah pihak tetapi terutama anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Banyaknya broken home telah membawa akibat langsung timbulnya dan tambahnya problem anak-anak nakal.
Hingga kini angka perceraian masih tinggi; Hal ini disebabkan karena penggunaan hak cerai secara sewenang-wenang, dengan dalil hak suami untuk mentalak. Oleh karena itu kepincangan masyarakat ini harus diperbaiki. Untuk itu undang-undang perkawinan menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
Itupun setelah Pengadilan berusaha tapi tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 39).
4.   Poligami dibatasi secara ketat
Asas perkawinan menurut undang-undang perkawinan adalah monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai syarat tertentu dan diputus oleh pengadilan.
Seperti juga percerain maka poligami adalah merupakan momok yang ditakuti oleh kaum wanita. Pelaksanaan poligami tanpa pengaturan yang ketat telah menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam rumah tangga. Hubungan antara istri/madu menjadi tegang, sementara hubungan antara anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada pertentangan, apalagi bila si Bapak telah meninggal dunia. Undang-undang mengatur bagaimana caranya untuk melakukan poligami. Untuk itu harus ditempuh/dipenuhi tahap-tahap di bawah ini secara berturut-turut (pasal 4 dan 5 UUP), yakni:
1.  Istri tidak dapat menjalankan tugas sebagai istri;
2.  Istri mendapat cacat badan atau berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3.  Adanya persetujuan dari istri;
4.  Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya;
5.  Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya;

5.  Izin dari Pengadilan
Tentang kemandulan, tentu saja Pengadilan akan meneliti secara objektif, karena melalui pemeriksaan medis akan dapat diketahui siapa sebenarnya yang tidak dapat memberi keturunan, apakah istri ataukah justru suami itu sendiri. Mengingat cara-cara pengaturan yang ketat itu, maka diharapkan angka poligami akan dapat ditekan serendah mungkin beserta segala akibat buruknya.

6.  Kematangan calon mempelai
Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan anak-anak di bawah umur. Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itu Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin,  yaitu 21 Tahun.
Namun demikian dalam keadaan yang sangat memaksa (darurat), perkawinan di bawah umur tersebut dimungkinkan, tetapi setelah memperoleh dispensasi dari Pengadilan atas permintaan orang tua (pasal 7 ayat 1 dan 2).

Demikianlah beberapa hal tentang Undang-undang Perkawinan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini, semoga dapat bermanfaat dan menjadi bahan acuan di dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terima kasih atas segala perhatian, dan mohon maaf atas segala kekurangan.


[1] Disampaikan pada acara  “Pertemuan Catur Wulan DWP Setjen BPK” di Jakarta, 24 April 2007.

0 komentar: